PLO dan Yordania

Perang tahun 1967 telah menimbulkan lebih dari 400.000 pengungsi Palestina, yang kebanyakan dari mereka mengungsi ke Yordania. Dengan adanya gelombang pengungsi ini, menimbulkan ketegangan hubungan antara PLO dengan pemerintah Yordania. Raja Hussein ingin mempertahankan perjanjian damai rahasianya dengan Israel, sedangkan PLO berharap dapat memanfaatkan Yordania sebagai basis untuk menyerang teritori Israel. Untuk merespon serangan-serangan PLO, maka Israel balas menyerang kota Karameh di Yordania. Walaupun penduduk kota yang berisi orang Palestina tersebut terkalahkan, namun kesan yang didapat oleh para anggota FATAH yang berjuang bersama ( dengan Yordania ) untuk melawan kekuatan Israel menjadi sebuah propaganda yang sukses bagi FATAH sendiri. PLO mempunyai otoritas penuh di kamp-kamp pengungsi, dan ini mengancam kedaulatan Raja Hussein.

Pada bulan September 1970, hasrat untuk konflik antara Hussein dan Arafat akhirnya pecah. Dibuat kesal karena pembajakan yang dilakukan oleh faksi-faksi garis keras PLO terhadap beberapa pesawat komersial ( sebagai protes atas tidak diikutsertakannya Palestina dalam perundingan antara Israel, Yordania dan Mesir ), maka akhirnya Raja Hussein menyatakan perang terhadap PLO. Keadaan perang diterapkan, dan pertempuran antara pasukan Yordania dengan PLO sedikitnya mengorbankan 3000 jiwa. Bulan September 1970 dikenal oleh orang Palestina sebagai peristiwa "Black September" atau September Kelabu. Setelah melalui Liga Arab serta intervensi pribadi dari Nasser, maka sebuah perjanjian ditetapkan yang isinya meminta PLO dengan terpaksa harus memindahkan markasnya ke Lebanon. Lalu Presiden Nasser meninggal secara tiba-tiba karena serangan jantung pada bulan September yang sama, dan digantikan oleh wakilnya, yaitu Anwar Sadat. Ia memikul kekuasaan Mesir dan mulai membongkar negara sosialis warisan dari Nasser tersebut. Dia juga mengumumkan perencanaan pembukaan investasi dari asing serta pembaharuan ekonomi. 

Pada tanggal 6 Oktober 1973, ketika orang-orang Israel sedang merayakan hari raya  Yom Kippur ( hari Penebusan dosa ) di sinagoga, Mesir dan Siria yang berhasrat untuk merebut kembali daerah-daerah mereka yang hilang, melaksanakan serangan mendadak. Pada 3 hari pertama dari serangan tersebut, Mesir berhasil melemahkan kekuatan pasukan Israel di Sinai dan Siria berhasil memasuki Dataran Tinggi Golan, yang mengancam daerah Galilea. Karena tindakan persiapan serangan dari Mesir dan Siria ini hanya dianggap sebagai tindakan penggertakan semata, maka Israel tidak menyiapkan pasukannya untuk hal ini, dan menyebabkan Israel di ambang kekalahan. Sadat, yang berencana hanya ingin merebut semenanjung Sinai kembali dan menahan posisi tersebut, melaksanakan penekanan dengan jalan perang serta menolak tawaran gencatan senjata yang diprakarsai oleh Amerika Serikat. Israel menerima kondisi yang ditawarkan Amerika dan mendapatkan  bantuan  persenjataan. Dalam waktu beberapa minggu Israel berhasil memukul mundur Mesir dan Siria. Walaupun pada akhirnya Israel menang, namun kesan Israel yang tak terkalahkan selama bertahun-tahun mulai hilang. Semua bagian akhirnya setuju untuk melepaskan kekuatan pada bulan Januari 1974 dalam sebuah perjanjian yang memutuskan untuk mengembalikan Sinai ke Mesir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *